Jumat, 27 Desember 2013

TGS UAS Hafidzo



ARAH KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG GURU MI PROFESIONAL
Hafidzotul Rohmah
A. PROFESIONALISME GURU
Istilah profesionalisme guru terdiri dari dua suku kata yang masing-masing mempunyai pengertian tersendiri, yaitu kata Profesionalisme dan Guru. Ditinjau dari segi bahasa (etimologi), istilah profesionalisme berasal dari Bahasa Inggris profession yang berarti jabatan, pekerjaan, pencaharian, yang mempunyai keahlian, sebagai mana disebutkan oleh S. Wojowasito. Selain itu, Drs. Petersalim dalam kamus bahasa kontemporer mengartikan kata profesi sebagai bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu. Dengan demikian kata profesi secara harfiah dapat diartikan dengan suatu pekerjaan yang memerlukan keahlian dan ketrampilan tertentu, dimana keahlian dan ketrampilan tersebut didapat dari suatu pendidikan atau pelatihan khusus.

Adapun pengertian profesi secara therminologi atau istilah, sesuai apa yang diungkapkan oleh para ahli adalah sebagai berikut: 
Roestiyah yang mengutip pendapat Blackington mengartikan bahwa pofesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang terorganisir yang tidak mengandung keraguaan tetapi murni diterapkan untuk jabatan atau pekerjaan fungsional. Dr. Ahmad Tafsir yang mengutip pendapat Muchtar Lutfi mengatakan profesi harus mengandung keahlian. Artinya suatu program harus ditandai dengan suatu keahlian yang khusus untuk profesi itu. Prof. Dr. M. Surya dkk, mengartikan bahwa professional mempunyai makna yang mengacu kepada sebutan tentang orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengan profesinya. Syafrudin, mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indanesia istilah professional adalah bersangkutan dengan profesi, memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya dan mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya.[1]
Adapun peraturan pemerintah tentang profesionalisme guru ialah :
UNDANG - UNDANG SISDIKNAS PASAL 42  
(1) Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan  
pendidikan nasional.  
(2) Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidika    
menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.
(3) Ketentuan mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)  
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.[2]
Ada juga pendapat lain yang bercerita tentang kebijakan pemerintah. Dimana Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Sulistyo mengatakan, banyak peraturan dan kebijakan yang dibuat pemerintah terkait guru dan pendidikan, malah membuat guru tertekan bahkan stres. Hal ini disampaikan Sulistyo bersama jajaran pengurus PB PGRI hasil Kongres ke 21 di kantor PGRI, Jakarta Pusat, Selasa (9/7). Di antaranya Sekjen PB PGRI M Kudrat Nugraha, Wasekjen Dian Maksunah, Sekretaris Departemen Penegakan Kode Etik Muhir Subagja, dan Sekretaris Departemen Komunikasi dan Informasi Basharuddin Toyib. "Banyak kebijakan pemerintah termasuk implementasinya yang membuat guru tertekan. Karena tertekan sering keinginan meningkatkan mutu tidak tercapai. Kalau tertekan positif bisa jadi motivasi, tapi kalau tertekan negatif ini bisa membuat stres," kata Sulistyo. Kondisi ini menurutnya kotra-produktif dengan upaya meningkatkan profesionalisme guru yang sangat dibutuhkan dalam peningkatan mutu pendidikan. Sulistyo tidak menampik ada di antara kebijakan tersebut niatnya baik, namun implementasinya kerap membuat guru stres. Sederet kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat dan daerah yang menurut PB PGRI membuat guru tertekan itu mulai dari beban mengajar 24 jam per minggu tatap muka, sertifikasi guru, pembayaran tunjangan profesi, uji kompetensi guru, hingga implementasi kurikulum.[3]
Dengan ini, setiap kebijakan pasti memiliki dampak posititif dan dampak negatif. Keinginan pemerintah melalui sertifikasi guru untuk meningkatkan profesionalisme guru drastis bergeser hanya ke arah kesejahteraan guru. Padahal, peningkatan profesionalisme semestinya berbarengan dengan peningkatan kesejahteraan. Alat ukur profesionalisme guru menjadi mudah dibeli dan dipermudah. Berbagai kebijakan pemerintah melalui dinas pendidikan mengantisipasi hal ini, dari program portofolio menjadi Uji Kompetensi dan seterusnya. Namun tetap saja, kondisi guru yang “kelamaan menderita” seakan tak peduli dengan masalah profesionalisme. Yang terpenting bagaimana kesejahteraan meningkat melalui program sertifikasi.[4] Tidak hanya itu, kebijakan pemerintah yang lain ialah melalui sertifikasi guru. Sertifikasi guru adalah salah satu kebijakan pemerintah di bidang pendidikan. Yaitu dengan pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Sertifikasi guru bertujuan untuk: (1) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, (2) peningkatan proses dan mutu hasil pendidikan, dan (3) peningkatan profesionalitas guru.[5] Dalam upaya pembangunan pendidikan nasional, sangat diperlukan guru (pendidik) dalam standard mutu kompetensi dan profesionalisme yang terjamin. Untuk mencapai jumlah guru profesional yang dapat menggerakan dinamika kemajuan pendidikan nasional diperlukan suatu proses pembinaan berkesinambungan, tepat sasaran dan efektif. Proses menuju guru profesional ini perlu didukung oleh semua unsur yang terkait dengan guru. Unsur–unsur tersebut dapat dipadukan untuk menghasilkan suatu sistem yang dapat dengan sendirinya bekerja menuju pembentukan guru-guru yang profesional dalam kualitas maupun kuantitas yang mencukupi.
Sejalan dengan kebijakan pemerintah, melalui UU No. 14 Tahun 2005 pasal 7 mengamanatkan bahwa pemberdayaan profesi guru diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi. Disamping itu menurut pasal 20, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.Dengan mengingat berat dan kompleksnya membangun pendidikan, adalah sangat penting untuk melakukan upaya-upaya guna mendorong dan memberdayakan tenaga pendidik untuk semakin profesional. Hal ini tidak lain dimaksudkan untuk menjadikan upaya membangun pendidikan kokoh, serta mampu untuk terus menerus melakukan perbaikan ke arah yang lebih berkualitas. Profesi guru menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen harus memiliki prinsip-prinsip profesional seperti tercantum pada pasal 5 ayat 1, yaitu: ”Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional sebagai berikut:
1. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme.
šZuqóuqsù ÏmøŠs9Î) ß`»sÜø¤±9$# tA$s% ãPyŠ$t«¯»tƒ ö@yd y79ߊr& 4n?tã Íotyfx© Ï$ù#èƒø:$# 77ù=ãBur žw 4n?ö7tƒ ÇÊËÉÈ  
2. Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai      dengan bidang tugasnya.
3. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya.
È@è%ur (#qè=yJôã$# uŽz|¡sù ª!$# ö/ä3n=uHxå ¼ã&è!qßuur tbqãZÏB÷sßJø9$#ur ( šcrŠuŽäIyur 4n<Î) ÉOÎ=»tã É=øtóø9$# Íoy»pk¤9$#ur /ä3ã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ ÷LäêZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÊÉÎÈ  
4. Mematuhi kode etik profesi.
5. Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas.
6. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya.
7. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan.
tbqßJn=ôètƒ #\Îg»sß z`ÏiB Ío4quŠptø:$# $u÷R9$# öNèdur Ç`tã ÍotÅzFy$# ö/ãf tbqè=Ïÿ»xî ÇÐÈ  
8. Memperoleh perlindungan hukum dalam rnelaksanakan tugas profesionalnya.
9. Memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum”.[6]
Namun, harapan memang tidak selalu berbuah manis dalam realitasnya, ada banyak faktor yang menjadi penyebab baik berupa internal maupun eksternal dalam diri guru. Tuntutan agar menjadi seorang yang profesional, memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Hal ini hendaknya mampu dimengerti oleh semua pihak, tidak hanya orang tua dan masyarakat, tetapi juga pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Hal yang tidak kalah penting adalah latar belakang tentang penelitian tersebut, yaitu anggapan bahwa perkembangan pendidikan di Indonesia ini sangat lamban dan salah satu penyebabnya adalah ,”Kualitas manusia khususnya guru, di samping faktor-faktor lainnya (seperti manajemen pendidikan). Secara obyektif mutu guru di Indonesia masih rendah. Balitbang Depdiknas pernah membuat laporan, dari seluruh guru SD ternyata hanya sekitar 30% yang layak mengajar di kelas. Dari hasil penelitian tersebut, maka tidak mengherankan alasan pemerinatah menggembar-gemborkan tentang kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru. Turunnya kebijakan pemerintah tentang kompetensi guru menggambarkan peran guru yang begitu vital dalam pelaksanaan kurikulum, bahkan guru bisa disebut sebagai kurikulum berjalan. Karena ditangan guru yang profesionallah kurikulum akan memiliki nilai baik ataupun buruk. Selain itu guru juga harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan cepat tanggap dengan kebutuhan para siswanya dengan perubahan tersebut. Oleh karena itu, keprofesionalan guru bisa dinilai minimal dari performancenya. Hal ini untuk melihat apakah guru tersebut sudah memiliki kesadaran untuk berrtindak sebagaimana yang diharapkan oleh pemerintah ataupun masyarakat, bahkan untuk dirinya sendiri. Berusaha merubah diri kepada pribadi yang lebih baik lagi juga termasuk hal yang dianjurkan dalam agama kita (Islam).[7]
Sejak disahkannya Undang-Undang no. 14 tentang Guru dan Dosen tahun 2005, pamor profesi guru mulai naik. Profesi ini mulai diminati lagi oleh banyak orang. Apalagi dengan adanya sertifikasi guru dalam jabatan di tahun 2007. Telah banyak guru yang mengikuti sertifikasi agar dapat memperoleh sertifikat guru guna dijuluki guru profesional.[8] dan standart kompetensi guru dikembangkan secara utuh dari empat kompetensi utama, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian sosial dan profesional. Keempat kompetensi tersebut terintegrasi dalam kinerja guru. Guru pada  SD/MI atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) dalam bidang pendidikan SD/MI (D-IV/S1 PGSD/PGMI) atau psikologi yang diperoleh dari program studi yang terakreditasi.[9] dan tak lupa tugas profesional guru meliputi mendidik, mengajar dan melatih/membimbing, serta meneliti (riset). Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Melatih/Membimbing berarti mengembangkan ketrampilan-ketrampilan peserta didik. Dan meneliti untuk pengembangan kependidikan.[10]








DAFTAR PUSTAKA
                                                                                                                                                                      




[2] http://masdikdas-pro.blogspot.com/p/peraturan-pemerintah-tentang.html di upload pada tanggal 27 Desember 2013 pukul 21.52
[4] http://mushlihin.com/2013/06/education/masalah-baru-guru-bersertifikasi.php di upload pada tanggal 27 Desember 2013 pukul 21.52
[5] http://www.slideshare.net/arimnz/kebijakan-pemerintah-di-bidang-pendidikan di upload pada tanggal 27 Desember 2013 pukul 21.52

[6] http://journal.uny.ac.id/index.php/jep/article/viewFile/619/476  di upload pada tanggal 27 Desember 2013 pukul 21.52
[8] http://miterban.blogspot.com/2012/02/profesi-guru-problematika-dan.html di upload pada tanggal 27 Desember 2013 pukul 21.52
[9] http://kamus-oke.blogspot.com/2012/07/standar-guru-sdmi.html di upload pada tanggal 27 Desember 2013 pukul 21.52

[10] http://astikip.wordpress.com/artikel/tugas-dan-peran-guru-profesional/ di upload pada tanggal 27 Desember 2013 pukul 21.52

Tidak ada komentar:

Posting Komentar