ARAH KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG GURU MI PROFESIONAL
Hafidzotul Rohmah
A. PROFESIONALISME GURU
Istilah profesionalisme guru terdiri dari dua suku kata yang
masing-masing mempunyai pengertian tersendiri, yaitu kata Profesionalisme dan
Guru. Ditinjau dari segi bahasa (etimologi), istilah profesionalisme berasal
dari Bahasa Inggris profession yang berarti jabatan, pekerjaan, pencaharian,
yang mempunyai keahlian, sebagai mana disebutkan oleh S. Wojowasito. Selain
itu, Drs. Petersalim dalam kamus bahasa kontemporer mengartikan kata profesi
sebagai bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu. Dengan
demikian kata profesi secara harfiah dapat diartikan dengan suatu pekerjaan
yang memerlukan keahlian dan ketrampilan tertentu, dimana keahlian dan ketrampilan
tersebut didapat dari suatu pendidikan atau pelatihan khusus.
Adapun pengertian profesi secara
therminologi atau istilah, sesuai apa yang diungkapkan oleh para ahli adalah
sebagai berikut:
Roestiyah yang mengutip pendapat Blackington mengartikan bahwa pofesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang terorganisir yang tidak mengandung keraguaan tetapi murni diterapkan untuk jabatan atau pekerjaan fungsional. Dr. Ahmad Tafsir yang mengutip pendapat Muchtar Lutfi mengatakan profesi harus mengandung keahlian. Artinya suatu program harus ditandai dengan suatu keahlian yang khusus untuk profesi itu. Prof. Dr. M. Surya dkk, mengartikan bahwa professional mempunyai makna yang mengacu kepada sebutan tentang orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengan profesinya. Syafrudin, mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indanesia istilah professional adalah bersangkutan dengan profesi, memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya dan mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya.[1]
Roestiyah yang mengutip pendapat Blackington mengartikan bahwa pofesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang terorganisir yang tidak mengandung keraguaan tetapi murni diterapkan untuk jabatan atau pekerjaan fungsional. Dr. Ahmad Tafsir yang mengutip pendapat Muchtar Lutfi mengatakan profesi harus mengandung keahlian. Artinya suatu program harus ditandai dengan suatu keahlian yang khusus untuk profesi itu. Prof. Dr. M. Surya dkk, mengartikan bahwa professional mempunyai makna yang mengacu kepada sebutan tentang orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengan profesinya. Syafrudin, mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indanesia istilah professional adalah bersangkutan dengan profesi, memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya dan mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya.[1]
Adapun peraturan pemerintah
tentang profesionalisme guru ialah :
UNDANG - UNDANG
SISDIKNAS PASAL 42
(1) Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional.
(2) Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidika
menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.
(3) Ketentuan mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.[2]
(1) Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional.
(2) Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidika
menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.
(3) Ketentuan mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.[2]
Ada juga pendapat lain yang bercerita tentang kebijakan pemerintah. Dimana Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan
Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Sulistyo mengatakan, banyak peraturan dan
kebijakan yang dibuat pemerintah terkait guru dan pendidikan, malah membuat
guru tertekan bahkan stres. Hal ini disampaikan Sulistyo bersama jajaran pengurus
PB PGRI hasil Kongres ke 21 di kantor PGRI, Jakarta Pusat, Selasa (9/7). Di
antaranya Sekjen PB PGRI M Kudrat Nugraha, Wasekjen Dian Maksunah, Sekretaris
Departemen Penegakan Kode Etik Muhir Subagja, dan Sekretaris Departemen
Komunikasi dan Informasi Basharuddin Toyib. "Banyak kebijakan pemerintah termasuk implementasinya yang membuat
guru tertekan. Karena tertekan sering keinginan meningkatkan mutu tidak
tercapai. Kalau tertekan positif bisa jadi motivasi, tapi kalau tertekan
negatif ini bisa membuat stres," kata Sulistyo. Kondisi ini menurutnya kotra-produktif dengan upaya
meningkatkan profesionalisme guru yang sangat dibutuhkan dalam peningkatan mutu
pendidikan. Sulistyo tidak menampik ada di antara kebijakan tersebut niatnya
baik, namun implementasinya kerap membuat guru stres. Sederet kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat
dan daerah yang menurut PB PGRI membuat guru tertekan itu mulai dari beban
mengajar 24 jam per minggu tatap muka, sertifikasi guru, pembayaran tunjangan
profesi, uji kompetensi guru, hingga implementasi kurikulum.[3]
Dengan ini, setiap kebijakan pasti memiliki
dampak posititif dan dampak negatif. Keinginan pemerintah melalui sertifikasi
guru untuk meningkatkan profesionalisme guru drastis bergeser hanya ke arah
kesejahteraan guru. Padahal, peningkatan profesionalisme semestinya berbarengan
dengan peningkatan kesejahteraan. Alat ukur profesionalisme guru menjadi mudah
dibeli dan dipermudah. Berbagai kebijakan pemerintah melalui dinas pendidikan
mengantisipasi hal ini, dari program portofolio menjadi Uji Kompetensi dan
seterusnya. Namun tetap saja, kondisi guru yang “kelamaan menderita” seakan tak
peduli dengan masalah profesionalisme. Yang terpenting bagaimana kesejahteraan
meningkat melalui program sertifikasi.[4]
Tidak hanya itu, kebijakan pemerintah yang lain ialah melalui sertifikasi guru.
Sertifikasi guru adalah salah satu kebijakan
pemerintah di bidang pendidikan. Yaitu dengan pemberian sertifikat pendidik
kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Sertifikasi guru bertujuan untuk:
(1) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen
pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, (2) peningkatan proses
dan mutu hasil pendidikan, dan (3) peningkatan profesionalitas guru.[5] Dalam
upaya pembangunan pendidikan nasional, sangat diperlukan guru (pendidik) dalam
standard mutu kompetensi dan profesionalisme yang terjamin. Untuk mencapai
jumlah guru profesional yang dapat menggerakan dinamika kemajuan pendidikan
nasional diperlukan suatu proses pembinaan berkesinambungan, tepat sasaran dan
efektif. Proses menuju guru profesional ini perlu didukung oleh semua unsur
yang terkait dengan guru. Unsur–unsur tersebut dapat dipadukan untuk
menghasilkan suatu sistem yang dapat dengan sendirinya bekerja menuju
pembentukan guru-guru yang profesional dalam kualitas maupun kuantitas yang
mencukupi.
Sejalan dengan kebijakan pemerintah, melalui UU No. 14 Tahun 2005
pasal 7 mengamanatkan bahwa pemberdayaan profesi guru diselenggarakan melalui
pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak
diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi. Disamping
itu menurut pasal 20, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru
berkewajiban meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi
secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni.Dengan mengingat berat dan kompleksnya membangun pendidikan, adalah
sangat penting untuk melakukan upaya-upaya guna mendorong dan memberdayakan
tenaga pendidik untuk semakin profesional. Hal ini tidak lain dimaksudkan untuk
menjadikan upaya membangun pendidikan kokoh, serta mampu untuk terus menerus melakukan
perbaikan ke arah yang lebih berkualitas. Profesi guru menurut Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen harus memiliki prinsip-prinsip
profesional seperti tercantum pada pasal 5 ayat 1, yaitu: ”Profesi guru dan
dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip
profesional sebagai berikut:
1. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme.
Zuqóuqsù Ïmøs9Î) ß`»sÜø¤±9$# tA$s% ãPy$t«¯»t ö@yd y79ßr& 4n?tã Íotyfx© Ï$ù#èø:$# 77ù=ãBur w 4n?ö7t ÇÊËÉÈ
2. Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan
sesuai dengan bidang tugasnya.
3. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya.
È@è%ur (#qè=yJôã$# uz|¡sù ª!$# ö/ä3n=uHxå ¼ã&è!qßuur tbqãZÏB÷sßJø9$#ur ( cruäIyur 4n<Î) ÉOÎ=»tã É=øtóø9$# Íoy»pk¤¶9$#ur /ä3ã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ ÷LäêZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÊÉÎÈ
4. Mematuhi kode etik profesi.
5. Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas.
6. Memperoleh
penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya.
7. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara
berkelanjutan.
tbqßJn=ôèt #\Îg»sß z`ÏiB Ío4quptø:$# $u÷R9$# öNèdur Ç`tã ÍotÅzFy$# ö/ãf tbqè=Ïÿ»xî ÇÐÈ
8. Memperoleh
perlindungan hukum dalam rnelaksanakan tugas profesionalnya.
9. Memiliki
organisasi profesi yang berbadan hukum”.[6]
Namun, harapan memang tidak selalu berbuah manis
dalam realitasnya, ada banyak faktor yang menjadi penyebab baik berupa internal
maupun eksternal dalam diri guru. Tuntutan agar menjadi seorang yang
profesional, memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Hal ini hendaknya
mampu dimengerti oleh semua pihak, tidak hanya orang tua dan masyarakat, tetapi
juga pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Hal yang tidak kalah penting adalah
latar belakang tentang penelitian tersebut, yaitu anggapan bahwa perkembangan
pendidikan di Indonesia ini sangat lamban dan salah satu penyebabnya adalah
,”Kualitas manusia khususnya guru, di samping faktor-faktor lainnya (seperti
manajemen pendidikan). Secara obyektif mutu guru di Indonesia masih rendah.
Balitbang Depdiknas pernah membuat laporan, dari seluruh guru SD ternyata hanya
sekitar 30% yang layak mengajar di kelas. Dari hasil penelitian tersebut, maka
tidak mengherankan alasan pemerinatah menggembar-gemborkan tentang kompetensi
yang harus dimiliki oleh seorang guru. Turunnya kebijakan
pemerintah tentang kompetensi guru menggambarkan peran guru yang begitu vital
dalam pelaksanaan kurikulum, bahkan guru bisa disebut sebagai kurikulum
berjalan. Karena ditangan guru yang profesionallah kurikulum akan memiliki
nilai baik ataupun buruk. Selain itu guru juga harus mampu menyesuaikan diri
dengan perkembangan zaman dan cepat tanggap dengan kebutuhan para siswanya
dengan perubahan tersebut.
Oleh karena itu, keprofesionalan guru bisa dinilai minimal dari
performancenya. Hal ini untuk melihat apakah guru tersebut sudah memiliki
kesadaran untuk berrtindak sebagaimana yang diharapkan oleh pemerintah ataupun
masyarakat, bahkan untuk dirinya sendiri. Berusaha merubah diri kepada pribadi
yang lebih baik lagi juga termasuk hal yang dianjurkan dalam agama kita
(Islam).[7]
Sejak disahkannya Undang-Undang no. 14 tentang Guru dan Dosen tahun 2005,
pamor profesi guru mulai naik. Profesi ini mulai diminati lagi oleh banyak
orang. Apalagi dengan adanya sertifikasi guru dalam jabatan di tahun 2007. Telah
banyak guru yang mengikuti sertifikasi agar dapat memperoleh sertifikat guru guna
dijuluki guru profesional.[8] dan standart
kompetensi guru dikembangkan secara utuh dari empat kompetensi utama, yaitu
kompetensi pedagogik, kepribadian sosial dan profesional. Keempat kompetensi
tersebut terintegrasi dalam kinerja guru. Guru pada SD/MI atau bentuk lain yang sederajat, harus
memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau
sarjana (S1) dalam bidang pendidikan SD/MI (D-IV/S1 PGSD/PGMI) atau psikologi
yang diperoleh dari program studi yang terakreditasi.[9] dan tak
lupa tugas profesional guru meliputi mendidik,
mengajar dan melatih/membimbing, serta meneliti (riset). Mendidik berarti
meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Melatih/Membimbing berarti
mengembangkan ketrampilan-ketrampilan peserta didik. Dan meneliti untuk
pengembangan kependidikan.[10]
DAFTAR PUSTAKA
[1] http://pustakaaslikan.blogspot.com/2012/06/pengertian-profesionalisme-guru.html#.Ucg41lnjSt8
di upload pada
tanggal 27 Desember 2013 pukul 21.52
[2] http://masdikdas-pro.blogspot.com/p/peraturan-pemerintah-tentang.html di upload pada tanggal 27 Desember 2013 pukul 21.52
[3]
http://www.jpnn.com/read/2013/07/09/180953/Banyak-Guru-Stres-Akibat-Kebijakan-Pemerintah-
di
upload pada tanggal 27 Desember 2013 pukul 21.52
[4]
http://mushlihin.com/2013/06/education/masalah-baru-guru-bersertifikasi.php
di
upload pada tanggal 27 Desember 2013 pukul 21.52
[5]
http://www.slideshare.net/arimnz/kebijakan-pemerintah-di-bidang-pendidikan
di
upload pada tanggal 27 Desember 2013 pukul 21.52
[6] http://journal.uny.ac.id/index.php/jep/article/viewFile/619/476 di upload pada
tanggal 27 Desember 2013 pukul 21.52
[7] http://mihasyimasyari.blogspot.com/2012/04/kompetensi-guru-dalam-kebijakan.html di upload pada tanggal 27 Desember 2013 pukul 21.52
[8] http://miterban.blogspot.com/2012/02/profesi-guru-problematika-dan.html di upload pada tanggal 27 Desember 2013 pukul 21.52
[9] http://kamus-oke.blogspot.com/2012/07/standar-guru-sdmi.html di upload pada tanggal 27 Desember 2013 pukul 21.52
[10] http://astikip.wordpress.com/artikel/tugas-dan-peran-guru-profesional/ di upload pada tanggal 27 Desember 2013 pukul 21.52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar